Senin, dan hari-hari yang berlalu
Semoga harimu senin terus...
Seseorang pernah berkata demikian kepadaku. Aku menemukannya di
dalam bus kota yang sesak. Hari itu di akhir bulan mei yang dingin, malam pukul
tujuh lewat empat puluh lima menit. Sudah terbilang malam untukku yang jarang
untuk keluar rumah kecuali ada urusan.
Hari itu juga hari senin yang panjang. Rasanya cape sekali, di
kantor tugasku menumpuk sedang di rumah tugasku rebahan. Baiklah aku tak sabar
untuk pulang batinku.
Dari halte tempat aku menunggu bus seperti biasa hanya butuh waktu
sepuluh menit dengan berjalan kaki yang santai. Kemudian lima menit kemudian
bus kota datang dan aku pun duduk disalah satu bangku bus
yang berhadap-hadapan.
Di tengah perjalanan, seorang mas-mas yang duduk persis di
hadapanku tiba-tiba berdiri. Ku kira ingin turun. Tapi dia malah mempersilahkan
seorang ibu-ibu tua yang baru saja masuk untuk menggantikannya duduk.
Aku yang di depannya memperhatikannya secara terang-terangan, dan
mas-mas yang memberikan tempat duduknya malah balik memperhatikanku.
Aneh!
Di sepanjang perjalanan mas-mas itu masih mencuri pandang kearahku
dan terang-terang memperhatikanku. Bukan maksudku untuk geer,
mungkin dia mengenaliku? Atau apakah aku mengenalinya?
Entahlah.
Sampai di halte pemberhentian ku, mas-mas itu juga terus
memperhatikanku turun dari bus. Aneh rasanya diperhatikan seperti itu. Tapi
habis itu aku pulang ke rumah dengan perasaan heran dan tersenyum-senyum.
Rasanya hari senin tak lagi sama seperti hari-hari yang berlalu...
Tamat.
Tulisan tanpa judul
Berlari atau diam
Aku melihat orang-orang berlaku ambisius, terlalu bernafsu dalam mencapai sesuatu, terlalu ingin menjadi tercepat dalam melakukan dan mencapai sesuatu, dan terlalu sibuk untuk bisa bersyukur.
Maka berlari adalah pilihan yang tidak bisa dihindarkan. Berlari mengejar sesuatu hingga kita berhasil mencapainya, berlari untuk bisa memakan sesuap nasi, dan berlari untuk mengejar bus yang tertinggal.
Sampai terkadang kita lupa untuk beristirahat sejenak, diam sesaat untuk menarik napas panjang dan berharap rasa penat itu akan hilang, rasa bosan itu akan lenyap, dan rasa rindu itu akan menjadi candu yang menyenangkan.
Namun rasanya dunia tidak sebaik itu, untuk bisa bertahan, aku harus tetap bergerak dan tidak boleh diam, tidak boleh senang sedikit, dan tidak boleh bahagia hanya dengan membaca buku.
"Halte Dukuh Atas"
Ah! Itu halte pemberhentianku, aku menutup buku dan segera turun dari dalam bus.
Lalu yang ku fikirkan adalah apakah dunia memang begitu? Apakah kita harus tetap bergerak disaat kita sudah capek untuk bisa berlari? Terlalu capek pada suasana kompetitif untuk mencapai sesuatu yang lebih dari orang lain? Dan terlalu cemas pada masa depan?
Aku bahkan lupa untuk bersyukur, lupa untuk tersenyum pada orang-orang yang ku lalui setiap pagi dan sore, dan lupa untuk menikmati masa sekarang. Keesokan harinya, ketika aku bangun tidur, aku merasa lebih enteng, akibatnya aku jadi lebih sering tersenyum, aku jadi lebih ramah, dan aku jadi lebih hidup.
Hidup memang keras, seperti batu yang kalau di tempa air terus menerus pasti akan hancur. Begitulah hidup, kita harus tetap bergerak, tapi jangan lupa untuk diam, sejenak, untuk bersyukur.
Rahasia
Begitu juga denganmu. Katamu, kamu adalah makhluk yang paling sederhana, tidak neko-neko dan apa adanya. Namun nyatanya? Sebaliknya. Aku mengira kamu adalah makluk ter-misterius yang pernah ku ketahui, terlalu tertutup, dan membingungkan.
Seperti sore itu. Kamu berjanji bertemu denganku (lagi) untuk membahas berbagai hal yang kusebut rahasiamu. Di taman, tempat biasa kita bertemu. Aku senang, teramat senang, bahkan sampai-sampai aku datang terlalu awal agar kamu tidak menungguku, biar aku saja yang menunggu, karena aku tahu, kamu tidak suka menunggu.
Katamu menunggu itu membosankan. Kali ini kamu benar. Membosankan, namun bahkan menyakitkan, karena sesuatu yang kita tunggu tak kunjung datang. Hari semakin gelap, tanda malam akan berganti, namun kamu belum juga datang. Kukira kamu kembali berbohong untuk bertemu dan berbicara denganku. Entah sudah berapa kali kamu membuat janji dan kamu juga yang mengingkarinya.
Aku kecewa. Karena tidak sama dengan yang ku bayangkan. Aku seperti dibohongi dan dikhianati, atau aku yang terlalu berharap? Entahlah. Kamu terlalu abstrak dan tidak bisa kutebak, aku tidak bisa menerka-nerka lagi tentangmu, aku hanya kecewa. Itu saja. Dan aku ingin pulang.
Sejak saat itu, aku tidak ingin bertemu denganmu lagi. Untuk apa? Untuk kembali dibohongi dengan janji-janjinya seperti dahulu? Atau untuk sekedar makan ice cream? Hei, lihatlah, aku bukan anak kecil lagi yang suka makan ice cream di taman. Lihatlah, aku sudah beranjak dewasa, umurku genap 19 tahun. Aku bahkan terlalu tua untuk menunggumu selama ini. Bodoh, memang, menunggu hal yang tidak pasti.
Namun sekarang aku tersadar, sesuatu yang aku tunggu tak kunjung datang, aku tidak ingin mengelak lagi, kalau mungkin kamu lupa, atau bahkan pura-pura lupa? Sudah cukup. Untuk apa lagi aku menunggu?
Ada cerita di sudut kereta
Stasiun yang menjadi tujuanku adalah stasiun Lenteng Agung. Setelah membayar tiket, aku langsung bergegas menunggu kereta di peron.
Suasana sore itu cukup ramai, mungkin karena jam pulang kerja. Harap maklum. Orang-orang berlalu lalang silih berganti. Namun tidak pernah menyangka tiba-tiba kemudian seseorang berdiri di sebelahku dan bertanya dengan ramah, "Dek, kalau ke Tangerang naik kereta yang mana?" Tanyanya dengan suara yang lembut dan pelan.
Kujawab pertanyaan itu dengan ramah, "Naik yang jurusan Jatinegara, Nek, nanti transit di Duri, kalau nenek mau nanti bareng sama saya aja, kita searah, cuman beda tujuan, saya turunnya di Stasiun Kampung Bandan."
Nenek itu lantas tersenyum kepadaku, dan mengucapkan terima kasih.
Tak lama kemudian, kereta pun datang dengan suara khasnya. Suara pengumuman kedatangan kereta pun acap kali berulang-ulang dan terdengar sedikit menyebalkan.
"Naik ini ya, Dek?"
"Iya, Nek."
Kami pun masuk kedalam kereta dan mencari tempat duduk. Lantas kemudian seseorang pun berdiri dan menawarkan tempat duduknya pada nenek. Sementara itu aku berdiri tidak jauh dari tempat duduk nenek tadi. Lalu mengamati nenek itu yang tengah tersenyum kearah seseorang yang memberikan kursinya barusan.
Seseorang itu kini berdiri di sebelahku. Ia tersenyum dan menyapa kepadaku, "Nenek kamu?"
Aku menggeleng, tanpa mengucapkan satu kata, orang itu mengerti.
Setelah itu perlahan-lahan kereta mulai bergerak menelusuri rel tua dan terus melaju dengan cepat, melewati stasiun demi stasiun dengan orang-orang yang naik-turun silih berganti.
Aku masih tetap berdiri. Cukup melelahkan, namun juga menyenangkan, karena di sini, di sudut kereta ini, aku dapat menemukan berbagai macam jenis manusia dan tingkah lakunya. Dengan berbagai raut kelelahan yang terpancar dari sorot wajahnya, dan berbagai cerita yang tak sengaja ku dengar lewat dua orang yang saling berbicara ini-itu di belakangku.
Tapi percayalah, disini asik, asik karena dapat bertemu dengan banyak orang, walaupun tidak saling kenal namun tidak lupa sempat melempar senyum satu sama lain. Sekaligus bahagia, karena dapat menambah ibadah. Yaitu tersenyum.
Benar kata orang. Bahagia itu sederhana. Hanya dengan melihat orang tersenyum saja aku merasa bahagia, tidak usah repot-repot mencari kebahagiaan sampai ujung dunia. Karena bahagia se-simple itu. Kita sendiri yang berhak menentukannya, atau mungkin seringkali kita nggak sadar, banyak kebahagiaan di sekitar kita, karena kita sibuk mencari kebahagiaan yang sempurna. Padahal tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kecuali pencipta kita, Allah SWT.
Si manusia egois
Low maintenance Friendship
Aku tipikal orang yang kalau deket engga nanggung-nanggung, tapi kalau udah yaudah, kayak banyak temen yang di sekolah dulu deket banget, ta...